Bahaya Ghibah dalam perspektif Santri Masa Kini
Sibuk dengan Aib Orang Lain
Salah satu hal yang dapat merusak pahala adalah sibuk dengan aib orang lain. Tidak kita sadari bahwa kita sering kali sibuk membicarakan aib orang lain dan lupa akan aib diri kita sendiri. Tidak bisa kita pungkiri bahwa setiap pembicaraan yang kita lakukan bersama orang lain dengan sendirinya akan mengarah pada ghibah, kalau istilah sekarang dibilang gosip. Padahal ketika kita membicarakan aib atau kesalahan orang lain itu sama saja dengan kita memakan daging saudara kita sendiri. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam Firman-Nya.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. al-Hujurat: 12)
Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ketika Rasulullah SAW diangkat (mi’raj) ke langit, beliau melewati kaum yang berkuku tembaga yang mencakar wajah dan dada mereka. Rasulullah bertanya: ‘Wahai Jibril siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab: ‘Mereka itu adalah orang yang selalu memakan daging orang lain dan menodai kehormatan orang lain’.
Pengertian ghibah itu sendiri telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam haditnya berikut ini.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya: “Tahukah kamu, apakah ghibah itu?” Para sahabat menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.’ Seseorang bertanya; ‘Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.’
Dari hadits di atas kita bisa mengetahui bahwa membicarakan setiap kesalahan dan keburukan orang lain adalah ghibah. Meskipun itu benar adanya dan selama pembicaraan itu tidak disenangi oleh orang yang dibicarakan. Namun, jika yang dibicarakan itu adalah kesalahan dan keburukan yang tidak benar ada padanya maka perbuatan itu adalah fitnah.
Ternyata ghibah terjadi juga diantara kalangan sahabat. Sehingga Rasulullah SAW selalu mengingatkan kita untuk menjauhi ghibah. Peristiwa ini terjadi pada Ahlush Shuffah, para sahabat Ahlush Shuffah adalah para sahabat yang tinggal di serambi masjid Rasulullah karena keadaan mereka yang miskin atau mereka yang memilih untuk tinggal di sana karena ingin selalu dekat dan bertemu dengan Rasulullah setiap saat. Mereka tidak makan dan minum serta tidak berganti pakaian kecuali yang diberikan oleh Rasulullah. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk beribadah dan menimba ilmu dari Rasulullah SAW. Keadaan ini sangat menguntungkan karena ketika terjadi kesalahan atau mereka terjatuh dalam kemaksiatan Rasulullah akan langsung mengoreksi mereka, seperti yang terjadi pada peristiwa berikut ini.
Suatu ketika Zaid bin Tsabit, seorang sahabat Anshar yang masih muda tetapi mempunyai kedekatan dengan Rasulullah SAW, bahkan memiliki kelebihan di bidang ilmu Al Qur’an, sedang berada di antara sahabat Ahlush Shuffah. Ia menceritakan beberapa riwayat atau hadits yang pernah didengarnya langsung dari Rasulullah SAW atau mungkin dialaminya sendiri bersama beliau. Walau kelihatannya mereka tampak senang mendengarkan, tetapi ada beberapa orang sahabat yang tampak kurang berkenan.
Tiba-tiba datang seorang utusan yang datang kepada Rasulullah dengan membawa daging yang cukup banyak. Maka salah seorang dari mereka berkata: “Wahai Zaid, masuklah ke rumah Rasulullah dan katakan bahwa kami sudah cukup lama tidak makan daging. Mungkin beliau akan memberikan sebagian daging itu untuk kami!!”
Ketika Zaid bangkit menuju rumah Rasulullah, sebagian dari mereka berkata: “Lihatlah Zaid ini, bukankah kita semua bertemu dengan Rasulullah sebagaimana dia bertemu dengan beliau (Maksudnya, tidak ada kelebihan Zaid terhadap mereka). Mengapa ia duduk di sini mengajarkan hadits kepada kita??”
Setelah diijinkan, Zaid masuk ke rumah Rasulullah dan menyampaikan permintaan atau pesan para sahabat Ahlush Shuffah itu. Tetapi Rasulullah SAW bersabda: “Katakan kepada mereka bahwa saat ini mereka sedang makan daging!!”
Zaid bin Tsabit tampak terheran-heran dengan perkataan Rasulullah, ia melihat sendiri bahwa mereka tidak makan apapun, bahkan tampaknya mereka sedang lapar. Tanpa membantah dan menjelaskan apa yang dilihatnya, Zaid kembali ke Ahlush Shuffah dan menyampaikan pesan Rasullullah SAW. Merekapun berkata: “Demi Allah, sudah sekian lama kami tidak memakan daging!!”. Benar saja, begitu mereka meludah, tampaklah warna merah darah di antara ludahnya. Mereka terkejut dan sangat heran dengan apa yang terjadi. Dengan sebab kejadian itu mereka merasa malu dan menyesali apa yang telah mereka lakukan terhadap Zaid. Akhirnya merekapun bertaubat, kemudian meminta maaf dari kekhilafan kepada Zaid bin Tsabit. Setelah tau duduk persoalannya, dengan senang hati Zaid memaafkan mereka.
Begitulah perumpamaan orang yang mengghibah. Sungguh orang yang mengghibah saudaranya muslim seperti ia memakan daging saudaranya sendiri.
Sebagai seorang muslim sepatutnya kita menjauhkan diri dari perbuatan ghibah. Adapun jika kita sudah tergelincir pada perbuatan tersebut, kita harus segera bertaubat dengan jalan melepaskan diri dari perbuatan ghibah dan berkemauan keras untuk tidak mengulanginya kembali.
Kemudian, apakah dalam taubat itu disyaratkan adanya penyesalan atas segala yang telah berlalu dan meminta maaf kepada orang yang telah digunjingkannya itu? Mengenai hal tersebut terdapat perbedaan pendapat. Ada ulama yang mensyaratkan agar meminta maaf kepada orang yang digunjungnya. Ada ulama yang berpendapat tidak disyaratkan baginya meminta maaf kepadanya. Karena jika dia memberitahukan apa yang telah digunjingkannya itu kepadanya, barangkali ia akan merasa lebih sakit dari pada jika ia tidak diberi tahu. Dengan demikian, cara yang harus ia tempuh adalah memberikan sanjungan kepada orang yang telah digunjingkannya itu ditempat-tempat dimana ia telah mencelanya. Selanjutnya, ia menghindari gunjingan orang lain atas orang itu sesuai dengan kemampuannya. Sehingga gunjingan dibayar dengan pujian.
(Akhok/Sae/Kontributor)
Edited by : Nikko Eka Saputra