| |

Cara Pesantren dalam Melestarikan Tradisi

Sumber gambar: Pexels.com

Seorang antropolog Belanda bernama Martin van Bruinessen dalam karyanya yang cukup fenomenal yaiitu Kitab “Kuning Pesantren dan Tarekat”menyebutkan bahwa menurutnya pesantren merupakan the great traditional atau pesantren merupakan tradisi yang agung. Pesantren dianggap mampu melahirkan tatanan nilai independen yang memberikan pengaruh besar pada masyarakat. Hal tersebut barangkali berangkat dari konsistensi pesantren yang selalu berdiri bersama rakyat terutama ketika memberikan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Pada masa setelah kemerdekaan pesantren masih tetap menjadi orbit dalam penyelesaian berbagai masalah yang di keluh-kesahkan masyarakat. Pesantren telah sejak lama berperan tidak hanya dalam masalah-masalah spiritual semata bahkan pada masalah-masalah sosial. Dalam sebuah hadits disebutkan:

مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً؛ فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً؛ فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ

Artinya: Apa yang dipandang baik menurut muslim, maka baik pula menurut Allah. (HR. Ahmad)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa apa yang dilakukan orang-orang muslim (pada suatu zaman tertentu) merupakan sebuah kebaikan sebab tidak mungkin umat muslim kompak melakukan kesalahan, maka seluruh tradisi lama yang sudah teruji baik dalam sejarah harus tetap dilestarikan.

Berbicara soal tradisi, Imam Al-Ghazali pernah menyinggung bahwa tradisi memiliki korelasi dengan akhlak yaitu sesuatu yang terjadi begitu saja tanpa beban penolakan. Begitupun akhlak, yaitu sebuah spontanitas yang baik. Maka dalam hal ini tradisi dapat dimaknai sebagai pola-pola, kebiasaan, yang terbentuk dengan begitu saja dan terlestarikan meski berada dalam kondisi metropolitan sekalipun.

Namun fenomena tradisi kerap disikapi secara serampangan dan terburu-buru sehingga orang dengan begitu mudahnya menghakimi sebuah ritual dalam masyarakat adat tanpa berusaha memahaminya terlebih dahulu. Sekalipun jika itu salah sikap penghakiman bukanlah langkah yang tepat, karena salah satu masalah dalam sebuah kekacauan sebenarnya bukan masalah itu sendiri melainkan sebuah masalah yang dihadapi dengan logika masa lalu. Melalui upaya pemahaman konteks masa kini dengan cara mengupdate pengetahuan diri niscaya akan terhindar dari jebakan logika masa lalu tersebut.

“…salah satu masalah dalam sebuah kekacauan sebenarnya bukan masalah itu sendiri melainkan sebuah masalah yang dihadapi dengan logika masa lalu.”

KH. Tatang Astarudin

Melihat sebuah fenomena tradisi harus disikapi dengan sangat hati-hati, misalnya bisa melihatnya melalui berbagai perspektif dan berbagai pendekatan. Dalam tradisi sedekah laut misalnya ketika dulu sesajen dimaknai sebagai persembahan pada arwah laut, jin, dan sebagainya, kita bisa maknai bahwa itu merupakan bentuk kepedulian pada alam, pada bumi, pada laut dengan cara bersedekah pada makhlup hidup seperti ikan, plangton, atau bahkan bakteri. Cara berpikir menggunakan berbagai perspektif seperti ini agar lebih jernih dalam melihat sebuah fenomena tradisi yang ada di sekitar.

Selain itu sebuah tradisi juga perlu dimaknai dengan tanpa menghilangkan konteks yang mengikat pada dirinya. Konteks ini berkaitan dengan dimana letak geografi tradisi itu lahir, bagaimana kultur masyarakatnya, bagaimana system politiknya, dan sebagainya. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Nabi pernah lewat pada sebuah makam lalu Nabi meletakkan pelepah kurma diatasnya. Kisah tersebut menginspirasi tradisi dalam masyarakat Indonesia ketika berziarah namun bukan dengan meletakkan pelepah Kurma karena di Indonesia sulit didapatkan, melainkan dengan menggunakan selasih bunga. Dalam sebuah terminologi budaya “konteks” tersebut dikenal sebagai local wisdom.

Maka pesantren sebagai sebuah tradisi agung menurut Martin telah lama hidup berdampingan dengan berbagai tradisi masyarakat lokal yang ada disekitarnya dan mempu beradaptasi, mengadopsi, dan mengkritisi hal tersebut tanpa harus memeranginya. Sebuah tradisi agung dari pesantren yang harus terus dilestarikan oleh kita semua.

Penulis: Muhamad Maksugi

Dikutip dari pengajian KH. Tatang Astarudin pada tanggal 11 Maret 2022

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.