Catatan Perjalanan (11): Belajar Kesabaran dan Cinta dari Thoif
THOIF adalah salah satu destinasi dakwah dan hijrah Nabi Muhammad SAW. Di Kota Thoif ada cerita duka yang berujung bahagia bagi Sang Nabi.
Pada bulan Syawwal tahun kesepuluh kenabian, Nabi Muhammad SAW memutuskan pergi ke Thaif. Beliau ditemani oleh Sahabat Zaid bin Haritsah RA–satu-satunya Sahabat Nabi yang disebutkan namanya secara eksplisit dalam al-Qur’an ( QS Al- Ahzab ayat 37).
Kedatangan Nabi Muhammad SAW ke Thoif, selain untuk berdakwah juga untuk minta perlindungan Bani Tsaqif dari tekanan kafir Makkah yang semakin menguat pasca wafatnya dua penyokong dakwah Nabi, yakni Abu Tholib (paman) dan Khadijah, istri tercinta.
Namun kedatangan Rasulullah SAW ke Thoif kala itu, mendapat penolakan dan perlakuan kasar. Beliau diteriaki, dicaci, bahkan dilempari batu oleh sekelompok budak dan pemuda ‘brutal’.
Tubuh mulia Nabi Muhammad SAW terluka, berdarah, meskipun Sahabat Zaid bin Haritsah RA sudah “pasang badan” melindungi, namun beberapa batu mengenai Sang Nabi.
Dengan berat hati Nabi dan Zaid mundur meninggalkan Thoif. Menurut satu riwayat, Nabi Muhammad SAW bersembunyi di kebun milik kakak beradik Utbah dan Syaibah.
Dalam persembunyiannya, Kekasih Allah Swt tersebut berdoa sebagaimana dinukil oleh Imam at-Thabrani dalam al-M’ujam al-Kabir :
اللّهُمّ إلَيْك أَشْكُو ضَعْفَ قُوّتِي ، وَقِلّةَ حِيلَتِي ، وَهَوَانِي عَلَى النّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرّاحِمِينَ ! أَنْتَ رَبّ الْمُسْتَضْعَفِينَ وَأَنْتَ رَبّي ، إلَى مَنْ تَكِلُنِي؟ إلَى بَعِيدٍ يَتَجَهّمُنِي؟ أَمْ إلَى عَدُوّ مَلّكْتَهُ أَمْرِي ؟ إنْ لَمْ يَكُنْ بِك عَلَيّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِي ، وَلَكِنّ عَافِيَتَك هِيَ أَوْسَعُ لِي ، أَعُوذُ بِنُورِ وَجْهِك الّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ أَنْ تُنْزِلَ بِي غَضَبَك أَوْ يَحِلّ عَلَيّ سُخْطُكَ، لَك الْعُتْبَى حَتّى تَرْضَى وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوّةَ إلّا بِك
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Rahim, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli, sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan karena itu yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat dari kemurkaan-Mu dan yang akan Engkau timpakan kepadaku. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau Ridho kepadaku. Dan, tiada daya upaya melainkan dengan kehendak-Mu,”
Mendengar doa Sang Nabi yang sangat mengiris hati tersebut, Malaikat Jibril ikut “terluka”. Lalu Jibril menyampaikan khabar :
إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ
… Sesungguhnya Allah azza wa jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan (gunung) Akhsabain’–kepada mereka, orang-orang yang menolak dan menyakitimu.
Alih-alih membalas perlakuan orang-orang Thoif yang sudah mengusir, mencaci, bahkan melukainya. Dengan penuh kasih dan kelembutan, Nabi Muhammad SAW menjawab :
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
… aku berharap kelak Allah azza wa jalla melahirkan dari mereka (orang-orang Thoif) generasi yang akan menyembah Allah azza wa jalla dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun…
اللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ
Ya Allah, berikanlah hidayah kepada kaumku, karena mereka tidak mengetahui…
Beberapa tahun sesudah peristiwa tersebut, satu riwayat menyebutkan 10 tahun kemudian–seluruh penduduk Thoif menyatakan masuk Islam, dan menjadi muslim yang setia dan taat kepada Rasulullah SAW.
Dari Thoif kita dapat meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW untuk “tidak menghakimi seseorang (kaum) karena “status” dan kondisinya hari ini; dan terus “mencari sejuta alasan untuk tetap menyayangi”.
Boleh jadi, orang yang hari ini membenci kita, beberapa waktu kemudian akan menjadi orang yang (paling) mencintai kita.
Wallahu’alam.
Thoif, Minggu, 26 Syawwal 1445, 05 Mei 2024.
KH. Tatang Astarudin, Pimpinan Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Kota Bandung