Standar titik belah ketupat yang di standarisasi oleh Ibnu Muqlah
|

Ahmad Safari: Transisi dari Penolakan dan Penerimaan Kaligrafi Kontemporer

Pada tanggal 12 September 1986 dalam sarasehan kaligrafi yang di prakarsai oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas Gadjah Mada di Gedung Seni Sono Yogyakarta perseteruan sengit terjadi ketika lukisan kaligrafi yang di buat oleh para pelukis ikut di pamerkan. Drs. Marwazi NZ mewakili para khattat menunjuk letak kesalahan-kesalahan tulis karena tidak mengikuti standar gramatika aksara Arab yang seharusnya di patuhi.

Lebih parah lagi lukisan Affandi yang begitu berani menaruh kata Allah diatas potret dirinya sendiri membuat para khattat semakin geram dengan ketidak senonohan yang di pertontonkan dalam sebuah lukisan. Sirojuddin AR yang saat itu menjadi salah satu pembicara menjawab: “Kalau pelukis seperti Affandi saja mau menggores huruf Allah, itu merupakan sebuah kemenangan dakwah Islam,” Jawaban tersebut kemudian disambut gemuruh oleh para pelukis. Lukisan kaligrafi yang di perdebatkan tersebut kini lebih di kenal sebagai kaligrafi kontemporer.

Kisah yang di ceritakan Sirojudin AR pendiri Pondok Pesantren Lembaga Kaligrafi (Lemka) tersebut menjadi gambaran tentang betapa panasnya perdebatan yang terjadi ketika menyikapi kemunculan kaligrafi kontemporer yang mulai di perkenalkan ke Indonesia pada tahun 1970an. Kalangan khattat yang biasanya berafiliasi ke pesantren menganggap bahwa lukisan kaligrafi tidak beretika dan merusak tulisan, bahkan di tarik pada perkara fiqh (halal atau haram). Sementara itu, kalangan pelukis Islam menganggap para kaligrafer murni miskin nuansa karena sebuah karya tidak selesai hanya pada huruf semata.

Standar titik belah ketupat yang di standarisasi oleh Ibnu Muqlah

Menariknya kaligrafi kontemporer yang dulunya menuai kecaman, kini telah di terima oleh kalangan kaligrafer semenjak di ikut sertakan dalam ajang perlombaan kaligrafi bergengsi MTQ dan menjadi madzhab kaligrafi tersendiri. Namun hampir keseluruhan peserta lomba MTQ cabang kaligrafi kontemporer selama ini justru di dominasi oleh para santri, pelajar, atau mahasiswa yang bukan dari sekolah/kampus seni rupa. Padahal pada mulanya kaligrafi kontemporer ini di pelopori oleh para pelukis dan akademisi seni rupa.

Terlepas dari persoalan itu, hal yang menarik di cermati dalam gejala ini adalah bagaimana para kaligrafer murni mengalami transisi dari penolakan ke penerimaan, serta adaptasi dari gaya aksara yang baku ke aksara yang lentur dan bebas. Sebab beberapa peserta kaligrafi kontemporer adalah mereka yang sebelumnya justru telah lama “berkecimpung” di kaligrafi murni.

Ahmad Safari misalnya, seorang kaligrafer murni dari desa Gumulung Lebak Kecamatan Greged Kabupaten Cirebon mengawali karir kaligrafinya di MTQ dengan kaligrafi dekorasi kemudian di tutup dengan kaligrafi kontemporer. Seperti kebanyakan kaligrafer lainnya, Ahmad Safari juga berafiliasi ke pesantren, yaitu di Buntet Pesantren Cirebon.

Penulis: Muhamad Maksugi

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.