|

Inilah Empat Bulan yang Sangat Dimuliakan, Salah Satunya adalah Dzulqa’dah.

Sebagai satu dari empat bulan yang diharamkan, dalam kalender Islam terdapat empat bulan yang diagungkan dan dimuliakan salah satunya bulan Dzulqa’dah. Bulan Dzulqa’dah diidentikkan dengan bulan suci, keistimewaan dan sangat dimuliakan kehormatannya oleh Allah.

gambar ilusi

Sebagai salah satu dari empat bulan haram dalam kalender Islam,  bulan yang dimuliakan salah satunya adalah bulan Dzulqa’dah. Bulan Dzulqa’dah diindentikan dengan bulan suci dan Allah sangat menghargai keistimewaan dan kehormatannya

Selain Dzulqa’dah menjadi salah satu bulan haram di antara 12 bulan, ada empat bulan yang disebut sebagai bulan haram diantaranya Muharram, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Rajab. Empat bulan tersebut memiliki keutamaan tersendiri, yang tidak dimiliki oleh delapan bulan lainnya sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran Surat At-Taubah ayat 36. 

Artinya, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu,”

Tidak hanya itu,  bulan Dzulqo’dah adalah awal yang mendorong umat Islam untuk menunaikan ibadah haji di bulan Dzulhijjah dan sunnah bagi orang yang ingin menikah, ada peristiwa penting di bulan ini juga. 

Dikutip dari laman NU Online https://lampung.nu.or.id/syiar/empat-keutamaan-bulan-dzulqa-dah-yang-perlu-diketahui-JgyrA terdapat peristiwa penting di bulan Dzulqa’dah yang sangat penting bagi umat Islam sebagai sejarah Islam. Berikut peristiwa penting yang terjadi di bulan Dzulqa’dah:  

  1. Perang Bani Quraizhah Syekh Shafifurrahman al-Mubarakfuri dalam salah satu kitab sirah-nya mengatakan, bahwa sehari setelah kepulangan Rasulullah di Madinah, tepat pada waktu Zuhur datang malaikat Jibril untuk menemuinya. Kemudian dia berkata,

“Sudahkah engkau meletakkan senjatamu? Demi Allah, kami (para malaikat) belum meletakkan senjata. Berangkatlah engkau sekarang bersama sahabat-sahabatmu menuju Bani Quraizhah, saya (Jibril) akan berjalan di depanmu untuk menggoncangkan benteng-benteng mereka dan menebarkan kekuatan di dada mereka.”

Mendengar apa yang disampaikan malaikat Jibril, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk segera berangkat menuju perkampungan Bani Quraizhah dan berpesan agar mereka tidak shalat Ashar kecuali telah sampai di perkampungan tersebut.

Peristiwa ini sebagaimana disebutkan oleh Syekh Shafiyurrahman terjadi pada bulan Dzulqa’dah,

وَقَعَتْ هَذِهِ الْغَزْوَةُ فِيْ ذِيْ الْقَعْدَةِ سَنَةَ الخَامِسَةَ

Artinya, “Peperangan ini (Bani Quraizhah) terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun kelima (hijriah).” (Shafiyurrahman, ar-Rahiqul Makhtum, [Beirut, Darul Fikr: tt], halaman 281).

  1. Perjanjian Hudaibiyah Syekh Ali as-Shalabi dalam salah satu kitab sirah-nya mengatakan bahwa ketika kekuatan umat Islam semakin kuat, mereka mulai berpikir untuk mendapatkan hak mereka yang sudah sangat mereka inginkan, yaitu beribadah di Masjidil Haram yang sejak enam tahun lamanya terhalang oleh kaum musyrikin.

Tepat pada hari Senin bulan Dzulqa’dah tahun ketujuh (ada yang mengatakan tahun keenam) hijriah, berangkatlah Rasulullah bersama 1400 orang sahabat tanpa membawa senjata perang.

Setibanya di Dzulhulaifah (miqat bagi penduduk Madinah, atau yang datang dari arah Madinah bagi mereka yang akan melakukan umrah dan haji), Rasulullah mulai melakukan ihram untuk umrah.

Sesampainya di tempat peristirahatan umat Islam, Rasulullah menegaskan kepadanya bahwa kedatangannya semata-mata untuk umrah, bukan perang. Karena tujuannya bukan untuk perang, akhirnya Rasulullah dan kafir Quraisy membuat kesepakatan damai, yang kemudian dikenal dengan istilah suluh hudaibiyah, yaitu perjanjian damai antara umat Islam dan kafir Quraisy yang berlangsung di Hudaibiyah pada tahun ketujuh hijriah. (Ali as-Shalabi, Sirah Nabawiyah, Durusun wan Ibarun fi Tarbiyatil Ummah, [Beirut, Darul Fikr: 2019], juz VIII, halaman 168).

3.  Rasulullah Umrah Empat Kali Bulan Dzulqa’dah merupakan salah satu-satunya bulan yang sangat dekat dengan bulan haji. Oleh karenanya, pada bulan ini Rasulullah sangat sering melakukan umrah. Selain untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, juga untuk mempersiapkan diri menghadapi datangnya kewajiban rukun Islam yang kelima berupa ibadah haji.

Dalam sebuah hadits, Umrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad pada bulan mulia ini sebanyak empat kali, sebagaimana riwayat al-Bukhari, yaitu:


اعْتَمَرَ رَسُوْلُ اللَّهُ أَرْبَعَ عُمَرٍ كُلُّهُنَّ فِي ذِي الْقَعْدَةٍ: عُمْرَة مِنَ الْحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي الْقَعْدَةِ، وَعُمْرَة مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ فِي ذِي الْقَعْدَةِ، وَعُمْرَة مِنَ الْجِعْرَانَةِ، وَعُمْرَة مَعَ حَجَّتِهِ

Artinya, “Rasulullah melakukan umrah sebanyak empat kali, semuanya pada bulan Dzulqa’dah, yaitu umrah dari Hudaibiyah di bulan Dzulqa’dah; satu umrah pada tahun berikutnya pada bulan Dzulqa’dah; satu umrah dari Ji’ranah; dan umrah bersama hajinya.” (HR Bukhari)

  1. Allah Berfirman Kepada Nabi Musa Selain tiga peristiwa penting di atas, ada juga salah satu peristiwa luar biasa yang terjadi pada bulan Dzulqa’dah, yaitu pembicaraan Nabi Musa dengan Allah ketika menerima wahyu berupa kitab Taurat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:

وَلَمَّا جَاء مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ


Artinya, “Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan telah berfirman (langsung) kepadanya (Musa).” (Al-A’raf ayat 143).

Imam Ibnu Katsir ad-Dimisyqi (wafat 774 H) dalam kitab tafsirnya mengutip beberapa pendapat mayoritas ulama tasir, di antaranya Imam Mujahid, Masruq, dan Ibnu Juraih, bahwa kejadian di atas terjadi pada bulan Dzulqa’dah. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Azhim, [Darut Thayyibah: 1999], juz III, halaman 468).

penulis: Hasemi Fauziah

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.