Islam dan Kebudayaan yang Tidak Harus Dipertentangkan
Islam dan kebudayaan kerap di sandingkan bersama untuk di pertikaikan, seolah satu dengan yang lainnya adalah dua elemen yang tidak dapat beriringan. Satu sisi Islam dimaknai sebagai ajaran yang harus di murnikan semurni-murninya sehingga adaptasi Islam dengan budaya lokal dianggap sebagai perusakkan akidah, di sisi lain kebudayaan adalah bagian dari nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat lokal secara sakral.
Misalnya pada tahun 2018 sebuah persiapan tradisi sedekah laut di Pantai Baru, Bantul mengalami pembubaran paksa oleh sekelompok orang dengan mengobrak-abrik lokasi tersebut sambil mengatakan bahwa tradisi sedekah laut yang dijalankan adalah perbuatan syirik dan bertentangan dengan agama. Ada pula pada bulan Januari 2022 lalu sebuah video viral di sosial media yang menunjukkan seorang pria yang menendang sesajen ke dalam jurang di Lumajang sambil mengatakan bahwa sesajen tersebut akan menimbulkan murka dari Tuhan sehingga dapat menyebabkan erupsi Gunung Semeru terjadi.
Dalam kajian Islam Wasathiyah, kenyataan tentang Islam dan budaya di dalam kepercayaan merupakan suatu hal yang tidak perlu di pertentangan. Ketika dihadapkan pada sebuah fenomena kebudayaan yang terjadi di masyarakat sebaiknya tidak perlu disikapi dengan menghakiminya secara terburu-buru, sebaliknya budaya justru dapat dijadikan sebagai bagian dari metode dakwah Islam. Kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa agama dan budaya bisa berjalan beriringan tanpa harus membuat keduanya saling berseteru.
Islam sebagai sebuah agama berada di dalam ruang dan waktu. Islam tidak mungkin bergerak di ruang hampa, karena Islam harus berada di dalam ruang maka Islam harus bersinggungan dengan sesuatu disekitarnya. Katakanlah ruang tersebut adalah geografis yang didalamnya terdapat manusia dan alam, ketika Islam berada dalam sebuah ruang maka Islam harus harmoni pada ruangannya, seperti kata pepatah yang sering kita dengar: “Dimana bumi di pijak, di situ langit di junjung”. Maka perjalanan Islam dalam sejarah panjangnya telah berinteraksi dengan berbagai kebudayaan yang tidak dapat di hindari, yaitu interaksi Islam dengan Persia, Islam dengan Eropa, Islam dengan Turki, hingga interaksi Islam dengan budaya Indonesia.
Interaksi Islam dengan berbagai kebudayaan tersebut melahirkan proses akulturasi, proses saling menghormati, atau bisa jadi adanya proses saling memanfaatkan antar satu sama lain. Islam memanfaatkan tradisi dan budaya lokal, sebagai metode dakwah yang mempermudah Islam diterima oleh masyarakat lokal. Tanpa menggunakan budaya lokal sebagai metode dakwah di Nusantara misalnya menggunakan budaya Timur Tengah seperti penggunaan bahasa Arab sebagai metode dakwah bisa jadi proses islamisasi berlangsung secara lama, atau bahkan lebih parah lagi terjadinya sebuah perlawanan terhadap sesuatu yang menyinggung nilai-nilai lokal yang disakralkan. Maka proses islamisasi yang dilakukan oleh Wali Sanga adalah Langkah dakwah yang cerdas karena menggunakan simbol kebudayaan sebagai metode dakwahnya.
Fakta sejarah lain menunjukkan bahwa jejak masuknya Islam melalui pedagang-pedagang Arab sudah dimulai sejak abad ke-8 M, namun proses islamisasi yang berlangsung secara masif justru baru terjadi pada abad ke-15 M. lambatnya proses islamisasi yang terjadi sehingga memakan waktu hingga Tujuh abad tersebut diyakini karena pada mulanya komunitas Arab di Nusantara hanya bertujuan untuk berdagang semata, namun lambat laun komunitas Arab tersebut membuat pemukiman dan berinteraksi dengan masyarakat lokal secara intensif terutama melalui perniagaan dan pernikahan. Namun yang menarik dari proses islamisasi tersebut adalah semenjak abad ke-15 proses islamisasi bergerak dengan lebih cepat. Wali Sanga bahkan mampu mengislamkan pulau Jawa hanya dalam kuurun waktu puluhan tahun saja dengan menggunakan simbol-simbol budaya sebagai metode dakwahnya.
Maka kenyataan tersebut dalam Islam Wasathiyah harus membawa kita pada kehati-hatian untuk tidak secara serampangan mengatakan bahwa “Ini tidak sesuai Islam!”. Sebab bisa jadi kita yang justru keliru dalam memahami penafsiran Islam. Kekeliruan yang membawa pemahaman Islam yang sempit, tertutup, dan emosional. Fenomena diatas boleh dikatakan terjadi karena semangat furivikasi, atau semangat pemurnian agama yang terlalu menggebu-gebu. Memang tidak masalah dengan semangat furivikasi ini, tetapi jangan sampai semangat ini membuat diri merasa lebih murni dari yang lain. Boleh jadi sesuatu yang dianggap tidak murni karena pemahaman kita tentang keislaman yang belum “Al-Hanifiyyah Al-Samhah” yaitu lurus dan toleran.
Ditulis oleh: Muhamad Maksugi
Di sadur dari ceramah K.H. Tatang Astarudin pada 29 November 202