|

ISLAM NUSANTARA: Refleksi Keberagamaan

(Telaah pernyataan K.H. Tatang Astarudin: ramai orang “berdebat” tentang Islam Nusantara, saya “tidak tertarik” dengan perdebatan itu, karena saya lebih tertarik untuk “menikmati” indahnya Islam Nusantara)
Oleh: Fajar Meihadi
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN SGD Bandung

Meminjam istilah “Indonesia negara paripurna” untuk mengucapkan “Islam agama paripurna”, ajaran agama Islam menjadi tidak layak dipertentangkan kendati terjadi perbedaan pemahaman penafsiran (Khilafiyah) karena Islam adalah agama penyempurna atas agama lainnya (pendahulu). Islam begitu ramah diciptakan Allah untuk hambanya, dalam sudut pandang tasawuf “Sang Pencipta menciptakan segala ciptaannya atas dasar cinta”. Oleh karenanya, agama “Islam” dan manusia sebagai ciptaan-Nya adalah manifestasi Kemahacintaan-Nya.
Islam yang diparktikkan Nabi Muhammad saw. tidak menampakkan sisi kebencian melainkan spirit persaudaraan yang dikedepankan, peperangan yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saw. adalah argumentasi yang rapuh untuk dijadikan dalil Islam berkembang melalui pedang.

“Krisis keberagamaan di Arab” menggambarkan tragedi kemanusiaan (konflik) berkepanjangan, seolah melahirkan kembali spirit perang unta dan sifin. Sesama muslim saling curiga, saling klaim kebenaran, ekstrimnya mengkafirkan atas nama agama dan membunuh dengan teriakan “Allahu Akbar”. “Al-Hujarat:10” menyerukan persaudaran bukan konflik sesama, jika agama “Islam” dan manusia adalah manifestasi Kemahacintaan-Nya mesti konflik tidak terjadi. “Al-Hujarat:12” mengandung nilai toleransi dan kerukunan dalam perbedaan bukan malah merasa benar sendiri dan menyalahkan pihak lain, Islam sebagai rahmatan lil ‘alamain seolah slogan belaka yg pada gilirannya melahirkan “Islam Phobia” lebih ekstrim Islam diberi label “teroris”.

Ditengah hiruk-pikuk realitas keberagamaan yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, Islam “di” Nusantara (Indonesia) hadir bagai “oasis” yang menunjukkan sikap keberagamaan lebih moderat dan inklusif serta menjadi jawaban atas pernyataan Gus Dur; “kita butuh Islam yang ramah bukan Islam yang marah”. Islam “di” Nusantara sebagai agama mayoritas tidak mendiskriminasi agama lain yang berbeda, juga tidak tergoda untuk dengan mudah menyalahkan pemahaman keagamaan yang tidak sejalan. Sikap tasamuh dalam menyikapi perbedaan pandangan keagamaan melahirkan kerukunan umat beragama sebagai modal sosial keberlangsungan hidup beragama, berbangsa dan bernegara, sabda Rasul; “perbedaan pendapat diantara umatku adalah rahmat”.
Islam Nusantara mengadopsi paham ahlussunah wal jamaah dan menggunakan jalan pendekatan (al-mazhab); dalam beraqidah mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi, dalam fiqih mengikuti salah satu dari mazhab empat (Imam Muhammad bin Idris as-Syafii), dan dibidang tasawuf mengikuti Imam al-Junaid al-Bugdadi dan Imam al-Ghazali. Islam Nusantara dengan paham ahlusunnah wal jamaah dan pendekatan (al-mazhab) yg dipilih telah melahirkan sikap keberagamaan yang ramah dan melahirkan Islam inklusif, toleran, cinta kasih, dan rahmatan lil ‘alamin.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.