Istiqamah dalam Tarawih: Mampukah Semangat Bertahan hingga Akhir?

Kota Bandung-Apakah semangat itu bisa bertahan hingga akhir? Malam kedua Ramadhan merayap perlahan, membawa keheningan yang syahdu ke Pondok Pesantren Mahasiswa Universal (PPMU). Cahaya lampu berpendar lembut, menerangi wajah-wajah santri yang duduk bersila di Majelis Utama. Udara malam mengalir pelan melalui jendela, seakan membawa pesan dari langit bahwa ibadah ini bukan sekadar ritual, tetapi perjalanan spiritual.

Di tengah keheningan itu, langkah yang dinanti akhirnya terdengar. Kang Rehan, mantan Ketua Dewan Santri yang namanya masih bergema dalam obrolan santri karena kebijaksanaan dan keteladanannya, melangkah ke mimbar. Dengan senyum khasnya, ia menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, memastikan setiap santri menyimak dengan saksama.

Malam ini, ia berbicara tentang satu amalan yang sering diremehkan tetapi memiliki pahala luar biasa: istiqamah dalam salat Tarawih.

Semangat di Awal, Luntur di Tengah Jalan

“Ramadhan baru memasuki malam kedua, tetapi kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah semangat kita masih akan sama hingga malam terakhir?” Suara Kang Rehan tenang, tetapi menusuk.

Ia berhenti sejenak, memberikan ruang bagi para santri untuk mencerna pertanyaan itu. Beberapa tampak mengangguk pelan, yang lain menggigit bibir seolah menyadari sesuatu yang selama ini mereka abaikan.

“Seringkali kita bersemangat di awal,” lanjutnya, “tetapi setelah seminggu, saf masjid mulai berkurang. Lalu di pertengahan bulan, banyak yang lebih memilih bantal daripada sajadah. Apa yang berubah?”

Tak ada yang menjawab. Suasana hening.

Kang Rehan lalu mengutip sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa melakukan qiyam Ramadhan (Tarawih) dengan iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Para santri masih terdiam, kini lebih dalam. Ada yang menundukkan kepala, ada yang menarik napas panjang. Lalu, ia bercerita.

Ketika Tarawih Menjadi Sebuah Kesempatan

Seorang ulama besar di masa lalu, katanya, tak pernah meninggalkan Tarawih seumur hidupnya.

“Ketika ditanya apa yang membuatnya tetap konsisten, apakah kalian mengira dia menjawab, ‘Karena aku tahu, Ramadhan tak selamanya datang untukku’?” Kalimat itu menghunjam ke dalam jiwa mereka.

Sebab memang, Ramadhan tidak datang selamanya. Tidak ada jaminan kita masih akan bertemu Ramadhan tahun depan. Tidak ada kepastian kita punya kesempatan untuk sujud lebih banyak.

Bulan ini adalah undangan. Hanya mereka yang menyadari nilainya yang akan datang dan duduk dalam majelisnya dengan penuh kesungguhan.

Membawa Tarawih ke dalam Hati

Kang Rehan mengakhiri kultumnya dengan pesan yang memikat. “Allah lebih mencintai amalan yang kecil tetapi dilakukan secara terus-menerus. Maka jangan pikirkan apakah kita bisa menyelesaikan 30 malam Tarawih sekaligus. Pikirkan bagaimana kita bisa tetap hadir besok malam, dan besok malam berikutnya. Itu akan terus berlanjut.” Santri-santri mengangguk. Ada sesuatu yang berubah dalam sorot mata mereka.

Malam itu, mereka bangkit menuju masjid. Bukan karena kewajiban semata, tetapi karena hati mereka telah mengetuk pintu kesadaran. Mereka kini paham, Tarawih bukan hanya kebiasaan, tetapi perjalanan. Perjalanan mendekatkan diri kepada Allah dengan kesadaran penuh. Dan perjalanan itu hanya bisa ditempuh oleh mereka yang istiqamah.

Penulis: Alif

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.