Keajaiban Perjalanan LKMS di Destinasi Penutup Semarang
Semarang bukan sekedar kota tempat singgah bagi ketua dewan pengasuh Pondok Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Bandung yaitu Dr. KH. Tatang Astarudin, S.Ag., S.H., M.Si dan Nyai Hj. Farida Mardiawati, S.Ag., S.Sos., atau para santri biasa menyapa Abi dan Umi. Pasalnya kota Semarang menyimpan kenangan mendalam yang tak terlupakan, sebuah kota tempat putri tercinta alm. Vita Ghania Naila Tsurayya berpulang untuk selamanya.
Kota Semarang juga menjadi kota penutup dari serangkaian destinasi kegiatan Latihan Kepemimpinan dan Manajemen Santri (LKMS) 2023 Outdoor setelah sebelumnya mengunjungi beberapa destinasi lain seperti Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Rembang, Pondok Pesantren Tahfidz Yanbu’ul Qur’an, Masjid Agung Rembang, Masjid Al-Aqsho Menara Kudus, Masjid Agung Demak, Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Ziarah di Maqam Sunan Muria, Maqam Sunan Kudus, Maqam Sunan Kalijaga, hingga kunjungan ke Museum GUSJIGANG, dan PT Djarum Kudus.
Sebagai sebuah penutup, kota Semarang mensajikan keajaibannya kepada kami peserta LKMS dan secara khusus kepada Abi dan Umi. Terutama ketika mengunjungi destinasi terakhir yaitu Pondok Pesantren Fadhlu Fadhlan Mijen Semarang.
Sebagaimana yang termuat dalam kitab Ayyuhal Walad, Imam Al-Ghazali pernah mengatakan: “Berjalan-jalanlah kalian, maka engkau akan menemukan keajaiban.” Keajaiban yang dimaksud disini bukan berarti tiba-tiba kita bisa membelah laut seperti nabi Musa, atau kordinator lapangan tiba-tiba punya kekuatan menghentikan hujan seperti Mbak Rara sang pawang hujan, tetapi keajaiban dalam bentuk berbagai kebaikan dan pertemuan tak terduga yang menghampiri rombongan tanpa tersekenario.
Misalnya cerita yang datang dari Fauzi selaku kordinator lapangan. Pada hari kedua outdoor, destinasi perjalanan mengalami perubahan dari yang seharusnya langsung ke maqam Sunan Kalijaga jadi mampir terlebih dahulu ke Masjid Agung Demak atas permintaan Dewan Pengasuh. “Saya mah sami’na wa atho’na weh.” kata Fauzi mengikuti arahan Dewan Pengasuh.
Meski pada awalnya hal ini membuat Fauzi cukup bingung dengan pengelolaan keuangan karena biaya parkir bus di lokasi tersebut cukup menguras anggaran. Namun keajaiban di lokasi berikutnya yaitu di Maqam Sunan Kalijaga Fauzi rasakan.
Dewan Pengasuh rupanya mendapatkan undangan dari pimpinan Yayasan Sunan Kalijaga sehingga rombongan mendapatkan perlakuan istimewa untuk menyantap sajian yang dihidangkan oleh Yayasan di pendopo Notobratan Kadilangu, sebuah balai pelestarian Cagar Budaya yang dibangun pada tahun 1885 oleh Noto Broto salahsatu keturunan Sunan Kalijaga.
Keajaiban bagi Fauzi adalah kordinator lapangan tidak harus mengeluarkan anggaran untuk membayar parkir bus karena perlakuan istimewa yang diberikan Yayasan Sunan Kalijaga. Sementara bagi santri sebagai peserta, kami tidak perlu mengeluarkan anggaran makan malam karena mendapatkan makan gratis di pendopo. Matursuwun.
Selain itu, Abi Tatang Astarudin juga mendapatkan perjumpaan tanpa di sengaja dengan sahabat-sahabat lama ketika singgah di Masjid Agung Demak. Sebuah perjumpaan yang memutar kembali rekaman nostalgia masa lalu. Kini sahabat-sahabat Abi tersebut yang diantaranya adalah Ustadz Selamet dan Muhdi telah tersebar melakukan pengabdian di berbagai wilayah di Nusantara. Ada yang menjadi pimpinan pesantren atau majelis taklim di Kudus, Sorong, hingga Bagan-Siapiapi Riau.
Kembali lagi di destinasi terakhir yaitu Kota Semarang di Pondok Pesantren Fadhlu Fadhlan Mijen Semarang. Kedatangan rombongan PPMU di sambut dengan begitu hangat oleh pimpinan sekaligus pendiri PPFF yaitu Dr. KH. Fadlolan Musyaffa’, Lc., MA., dan istrinya Nyai Hj Fenty Hidayah, S.Pd.
Abi dan Umi, dewan asatid, dan ibu-ibu majelis taklim Universal di undang ke rumah pimpinan pesantren untuk menyantap berbagai hidangan yang telah di sajikan sembari berbagi cerita tentang banyak hal. Gelak tawa sesekali terdengar menghangatkan suasana sekaligus menunjukkan betapa ramahnya sambutan yang di berikan kepada rombongan kami.
Seusai menyelesaikan jamuan makan siang, acara dilanjutkan dengan pengarahan studi wawasan di Masjid Raudhatul Jannah yang diawali dengan sambutan dari Dr. KH. Tatang Astarudin, S.Ag., S.H., M.Si. dengan memperkenalkan selintas tentang PPMU dan maksud kedatangan rombongan dalam kegiatan LKMS.
Berikutnya Dr. KH. Fadlolan Musyaffa’, Lc., MA., memberikan wawasan kelembagaan seperti sejarah berdirinya pesantren PPFF, proses pembelajaran, visi misi, dan sebagainya. Hingga kemudian memberikan wejangan kepada santri PPMU tentang banyak hal. Mulai dari pentingnya bertaqwa dalam menuntut ilmu, hingga pentingnya bagi santri untuk melakukan manajemen waktu, prioritas, dan taqarrub ilallah.
Namun yang menjadi keajaiban dalam pertemuan tersebut terutama bagi Abi dan Umi yang menempatkan Semarang sebagai kota yang memorable adalah ajakan KH. Fadlolan Musyaffa dan Nyai Hj. Fenty Hidayah untuk berziarah ke maqam putrinya Ning Arina Sabiela Fadlolan seusai rangkaian acara.
Ajakan ziarah tersebut tentu sangat spesial bagi Abi dan Umi, karena kisah wafatnya puteri dari Kyai dan Nyai PPFF mengukirkan kembali jejak perjalanan di kota Semarang sebagai pemaknaan mendalam tentang arti kehidupan dan kematian. Seolah alm. teh Vita sedang menyapa dan menyambut kita semua dengan caranya yang selalu spesial.
Bagaimana tidak, perjalanan ini seolah di skenariokan untuk mempertemukan dua keluarga mulia pimpinan pesantren yang sama-sama kehilangan puterinya, dimana kedua puterinya memiliki bulan kelahiran dan kematian yang sama, hanya beda selisih dua hari saja.
Alm. Vita Ghania Naila Tsurayya puteri KH. Tatang Astarudin dan Nyai Hj. Farida Mardiawati lahir pada tanggal 6 Maret 2004 sementara alm. Ning Arina Sabiela Fadlolan puteri KH. Fadlolan Musyaffa dan Nyai Hj. Fenty Hidayah wafat pada tanggal 08 Maret 2022.
“Mereka sudah enak disana, menjadi bidadari-bidadari yang jelita. Justru kita yang masih di sini belum tau akan menjadi apa nanti.” kata KH. Fadlolan Musyaffa memaknai kehidupan dan kematian dari puterinya.
Barangkali ini merupakan salahsatu refleksi dari pesan Sunan Kalijaga bahwa “Urip iku Urup” yang artinya hidup itu harus menerangi. Meskipun puteri dari kyai-kyai kita sudah tiada tetapi kehidupan batiniahnya masih bisa menerangi kita yang masih hidup di dunia melalui kisah kesolehahan, amal sholeh selama hidup, hingga pesan-pesan tersirat yang sulit dijelaskan dengan akal sehat sekalipun.
Namun salahsatu hal yang perlu di yakini adalah tak ada kebetulan di dunia ini. penyebutan kebetulan terjadi karena ketidaktahuan kita terhadap rentetan sabab musabab yang menjadikan suatu peristiwa terjadi. Andai saja rentetan sabab musabab itu diketahui keyakinan akan kerja semesta atau Abi Tatang sering menyebutnya “the invisible hand” yaitu kekuatan tangan tak terlihat akan semakin kuat.
Semarang yang sejak awal menjadi kota spesial bagi Abi dan Umi, nyatanya benar-benar menjadi destinasi penutup yang spesial karena memuat pesan refleksi mendalam dari alm. teh Vita dengan cara penyampaiannya yang spesial pula.
Ditulis oleh: Muhamad Maksugi