Ketika Isra’ Miraj Dilihat dari Dua Perspektif
Peristiwa Isra’ Mi’raj menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam pada waktu itu, pasalnya akal manusia sulit untuk mencari logika terdekat sebagai dasar argumentasi logis pembenaran atas peristiwa singkat dan cepat, yaitu perjalanan dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina (Isra’) dengan jarak tempuh lebih-kurang 1.500km (baca: kilometer), lebih-lebih perjalanan Mi’raj yang menembus langit hingga mencapai tapal batas Sidhratul Muntaha.
Perjalanan Isra’ Mi’raj bergerak dengan melampaui kecepatan cahaya, sedangkan kecepatan cahaya adalah kecepatan tertinggi yang pernah ditemukan fisika modern. Tanpa dasar keimanan yang kuat barang tentu seseorang sulit untuk mempercayai peristiwa Isra’ Mi’raj itu benar adanya, dan dengan keimanan itulah Isra’ Mi’raj dapat diterima dengan baik tanpa penolakan.
Ikhtiar pencarian argumentasi penting diupayakan agar peristiwa Isra’ Mi’raj dalam perspektif mistik memiliki landasan argumentasi yang jelas. Dialektika semacam ini perlu terus didorong dan dilestarikan untuk melakukan pengkajian lebih lanjut dalam kerangka memperkaya khazanah sudut pandang mengenai Isra’ Mi’raj. Atas dasar itulah penulis akan mencoba menggunakan pendekatan sudut pandang “matriks pengetahun” (lihat Ahmad Tafsir: Ilmu Pendidikan Islam, cetak keempat, hlm 20) agar ada perspektif lain untuk mendeskripsikan peristiwa Isra’ Mi’raj.
Matriks pengetahuan mendeskripsikan kategorisasi kebenaran, seperti kebenaran ilmu dan/atau sains, filsafat, dan juga mistik (agama). Setiap matriks pengetahuan memiliki ruang batasan tersendiri untuk melakukan pengamatan pada objek tertentu agar supaya menghasilkan kebenaran sesuai krakteristiknya. Oleh karenanya, matriks pengetahuan memiliki objek kajian, epistemologi, potensi/alat, dan ukuran kebenaran masing-masing.
Isra’ Mi’raj tidak dapat diterima kebenarannya karena ditinjau menggunakan sudut pandang kebenaran ilmu, seharusnya diukur kebenaranya menggunakan sudut pandang kebenaran mistik (agama) secara proporsional. Dua sudut pendang kebenaran (ilmu dan mistik) yang akan diulas pada tulisan ini sebagai perbandingan kebenaran ilmu yang mewakili kaum positivisme dan kebenaran mistik mewakili kaum agamis.
Pertama, ukuran kebenaran ilmu menurut Mulyadi Kartanegara berbeda dengan kebenaran sains, filsafat dan agama (lihat Mulyadi Ketanegara: Pengantar Epistemologi Islam, cetak kesatu, hlm 1), masing-masing memiliki objek dan ukuran kebenaran tersendiri.. Sedangkan Ahmad Tafsir memberikan pemahaman lain, baginya ukuran kebenaran ilmu dan sains sama (lihat Ahmad Tafsir: Filsafat Umum, cetak kesembilan belas, hlm 16) dan relevan dengan pendapatnya Jujun S. Suriasumantri (lihat Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, cetak kedelapan belas, hlm 7).
Pada dasarnya kebenaran ilmu dan sains sama, hanya saja Mulyadi Kartanegara memperluas objek kajian ilmu yang tidak terbatas pada aspek empiris, sesuatu yang logis meskipun tidak empiris tetapi melekat pada entitas yang fisik dapat dibenarkan menurut perspektif ilmu, semisal matematika.
Ilmu adalah kebenaran sebagaimana adanya, diksi “sebagaimana adanya” tidak berarti kebenaran ilmu “seadanya”, melainkan kebenaran yang sudah teruji, logis, dan empiris. Oleh sebab itu, kebenaran ilmu tidak cukup hanya diukur melalui panca indra semata, tetapi perlu ada upaya sungguh-sungguh (contoh: riset) untuk mengetahui atau menemukan kebenaran “sebagaimana adanya”. Bintang yang terlihat kecil secara kasatmata belum tentu benar “sebagaimana adanya”, perlu ada ikhtiar lebih lanjut untuk mengetahui ukuran bintang “sebagaimana adanya”.
Sedangkan asumsi dasar ilmu yaitu tidak menerima perubahan dalam jangka waktu yang cepat dan tidak pula menuntut “kelestarian absolut”, tetapi ilmu menuntut adanya “kelestarian relatif”. Hal ini menegaskan bahwa kebenaran ilmu tidak mungkin bertahan sesaat, melainkan akan bertahan relatif lebih lama tetapi tidak mutlak dan abadi. Artinya kebenaran ilmu yang sudah ada, ada kalanya akan tergantikan dengan kebenaran ilmu yang baru sepanjang proses pengembangan ilmu terus berlangsung.
Oleh sebab itu, Isra’ Mi’raj jika ditinjau menggunakan kebenaran ilmu, dengan sendirinya akan tertolak dan dianggap tidak benar, sebab peristiwa Isra’ Mi’raj tidak empiris (ada bukti konkret) dan logis (diterima akal). Bahkan (kalaupun benar) ada kalanya kebenaran peristiwa Isra’ Mi’raj diragukan karena kebenarannya yang tidak hakiki, kebenarannya akan terbantahkan dengan kebenaran yang baru (kelestarian relatif). Jadi, bagi kaum positivisme sudah barang tentu kebenaran Isra’ Mi’raj masih dipertanyakan.
Pandangan kaum positivisme yang (terkesan) menuhankan bukti fisik dan akal tentu tidak dapat sepenuhnya digunakan untuk “menerjemahkan” agama, karena tidak semua ajaran agama dapat dipahami menggunakan ukuran kebenaran ilmu. Ada kalanya harus dipahami dengan menggunakan pendekatan sudut pandang kebenaran mistik, dan dengan pendekatan mistik itulah agama akan dapat lebih dipahami , terkhusus dalam memahami sesuatu yang sifatnya metafisik, dalam konteks ini adalah peristiwa Isra’ Mi’raj. Oleh karenanya, dibagian kedua akan diuraikan argumentasi Isra’ Mi’raj dengan pendekatan sudut pandang kebenaran mistik.
Kedua, kebenaran mistik dapat diukur melalui keyakinan atau pengalaman batin, terkadang juga empiris dan logis. Dalam konsep keilmuan Islam disamping memiliki paradigma deduktif-induktif juga mengakui paradigma transenden (segala sesuatu diakui benar sepanjang datangnya dari Tuhan). Oleh karenanya, pengamatan pada objek tertentu, dalam hal ini peristiwa Isra’ Mi’raj, sekalipun tidak empiris dan logis masih tetap dikatakan ilmiah dan benar karena peristiwa tersebut diabadikan dalam al-Quran yang bersumber dari Tuhan.
Sumber utama Islam (al-Quran dan Hadis) terlampau banyak menjelaskan tentang hal-hal yang sifatnya metafisik dan itu semua merupakan kebenaran agama yang tidak memerlukan bukti empiris dan logis. Ketika akal manusia tidak atau belum mampu menjaungkau sesuatu (peristiwa Isra’ Mi’raj) yang metafisik, bukan berarti dapat menjadi dalih akan ketidakbenaran sesuatu tersebut. Sesuatu yang tidak diketahui manusia belum tentu salah, boleh jadi manusia belum mengetahui kebenarannya, sebab tidaklah seorangpun manusia yang diberi pengetahuan melainkan sedikit (QS. Al-Isra’: 85).
Maka tidaklah mengherankan jika seorang Kierkegaard tokoh eksistensialisme mengatakan “seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, melainkan karena ia tidak tahu”, dan kata Imanual Kant “saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah agar memiliki waktu bagi hatiku untuk percaya” (M. Zainuddin: Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw: Dari Sains Hingga Shalat).
Dapatlah diketahui, bahwa tidak semua ajaran agama dapat diukur kebenarannya dengan sudut pandang ilmu, karena agama bukan ciptaan manusia yang harus serba ilmiah, meskipun banyak juga ajaran agama yang empiris dan logis (Lihat Agus Purwanto, Nalar Ayat-ayat Semesta). Justru dengan sesuatu yang bersifat metafisik seseorang diuji seberapa totalitaskah keimanannya pada ajaran agama yang ia anut.
Oleh: Fajar Maehadi (Alumni Pondok Pesantren Mahasiswa Universal)