Memaknai Bulan Ramadhan
Oleh: Fajar Meihadi
Puasa di bulan ramdhan adalah kewajiban bagi umat manusia yang beriman, demikian yang termaktub dalam surah al-Baqarah: 183. Pada surah tersebut kedudukan kata shiyaamu lebih awal dari kata tattaquun, penjelasan itu tampak bahwa rutinitas ibadah puasa adalah media untuk mencapai derajat ketakwaan. Dalam bahasa Nurcholis Madjid yang akrab disapa Cak Nur, puasa adalah pendidikan Ilahi yang berupaya menanamkan kesadaran sedalam-dalamnya akan ke-Maha Hadir-an Tuhan (omnipresence), inti dari pendidikan Ilahi adalah proses transformasi moralitas ke arah lebih baik dari sebelumnya. Oleh karenanya, puasa di bulan ramadhan jangan hanya dimaknai sebatas perubahan pola makan dan pola tidur, tetapi bulan ramadhan harus dimaknai sebagai medan laga untuk mengukir jejak indah.
Ada sebagian orang yang merasa keberatan dengan rutinitas puasa di bulan ramadhan, karena sepintas lalu puasa seolah menyiksa, pada dimensi lahiriah orang yang berpuasa dilarang makan, minum, dan bahkan berhubungan biologis. Bukan hanya sesuatu yang haram, tetapi sesuatu yang halalpun (hal tertentu) dilarang ketika berpuasa, larangan itu seolah memperkuat asumsi bahwa puasa menyiksa. Kalaulah puasa menyiksa lantas dimana sifat Rahman dan Rahim Tuhan?, kalaulah puasa menyiksa lantas mengapa Rasulullah tidak melakukan negosiasi kepada Tuhan seperti halnya kali pertama diperintahkan untuk melaksanakan shalat yang memberatkan umatnya?, asumsi puasa menyiksa menjadi rapuh karena tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat.
Orang yang berpuasa sejatinya mendapat kebahagian yang tidak melulu bersifat material tetapi juga dapat bersifat immaterial. Jika kebahagiaan hanya bersifat material maka yang dapat merasakan tidur nyenyak hanya orang kaya, karena mereka yang mampu membeli kasur mewah, tetapi faktanya tidur santri jauh lebih nyenyak meski hanya beralaskan tikar. Pada kasus lain, orang miski boleh jadi jauh lebih bahagia dari orang kaya, karena sikapnya yang bersyukur dan tidak meratapi sesuatu yang tidak dimiliki. Penjelasan itu nampak bahwa orang yang berpuasa boleh jadi jauh lebih bahagian dari orang yang tidak berpuasa, meski secara lahiriah orang yang berpuasa tubuhnya tidak mendapatkan asupan gizi dan nutrisi disepanjang terbit sampai terbenamnya matahari, tetapi karena fitrah manusia adalah benar dan baik maka akan merasa bahagia dengan kebenaran dan kebaikan. Kata Cak Nur orang yang berpuasa sejatinya sedang menjalankan penderitaan sementara untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.
Pembiasaan (latihan) menahan diri pada dimensi lahiriyah maupun batiniyah ketika menjalankan puasa melahirkan hikmah kemanusiaan, hikmah tersebut berupa budi pekerta yang luhur. Sikap menahan diri agar tidak melampaui batas kemanusian sejalan dengan moralitas yang tinggi. Ketidakmampuan dalam menahan diri kerap berujung pada keburukan, pun sebaliknya. Kasus Nabi Adam dan Hawa gambaran tidak kuasanya menahan diri untuk tidak mendekati pohon khuldi yang berujung dikeluarkannya dari surga. Sedangkan pada kasus lain, Nabi Yusuf dengan perkasanya menahan diri dari godaan wanita istana mesir bernama Zulaikha dan berujung pada kemuliaan. Kasus tersebut tampak bahwa kebaikan menjadi konsekuensi bagi siapapun yang hendak menahan diri dari larangan-Nya, dan keburukan menjadi balasan bagi yang tidak kuasan menahan diri atas larangan-Nya.