Sebuah Biografi: Menapaki Jejak Kiyai
Biografi KH. Tatang Astarudin Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Al-Islami Bandung
Oleh: Fajar Meihadi
Ketua Alumni Mahad Universal
KH. Tatang Astarudin kelahiran Cirebon 26 Mei 1969, beliau putra kedua dari seorang ayah bernama H.R. Soleh Sukari Sukantawirja (keluarga Keraton Kesepuhan Cirebon) dan ibu Hj. Umaeroh Husen (puteri seorang tokoh tarekat di Cirebon). Kondisi keluarga yang sederhana membuatnya terbiasa dengan
gaya hidup bersahaja. Dibesarkan dilingkungan keluarga taat beragama disertai nasehat orang tua “kamu tidak boleh jauh dari pesantren” menjadi alasan mengapa beliau keluar-masuk pesantren, semasa kecil menghabiskan waktu meregup madu ilmu di pesantren menjadi wasilah kedalaman dan keluasan ilmu agama yang dikuasainya. Pesantren Buntet Cirebon, Pesantren Jagasatru Kesepuhan Cirebon, Pesantren al-Munawwir Krapyak, dan Pesantren Cipasung Tasikmalaya menjadi saksi bisu tempat menempa diri. Keilmuan yang didapat tidak hanya dari pesantren tapi juga bersumber dari pendidikan formal, beliau mengenyam Sekolah Dasar (SD) dikampung halamannya, Desa Gumulung Lebak Kecamatan Greged Kabupaten Cirebon, melanjutkan ke SMP Islam di Buntet, MAN Mertapada dan PGAN Cirebon. Tidak selesai sampai disitu, beliau melanjutkan pendidikan tinggi (S1) Jurusan Peradilan Agama IAIN Sunan Kalijaga dan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), program Magister (S2) jurusan Demigrafi Universitas Gajah Mada (UGM), dan program Doktor (S3) konsentrasi Hukum Bisnis Universitas Padjajaran (UNPAD). Dua lembaga pendidikan (formal dan nonformal) disertai pendidikan dalam keluarga (informal) memberikan kontribusi cukup besar terbentuknya cakrawala berpikir dan keilmuan yang luas diimbangi kepribadian yang baik (akhlak mulia).
Semasa muda dikenal seorang aktivis, semangat belajar yang tidak pernah pudar membuatnya tertarik mengikuti berbagai organisasi sebagai upaya mengaktualisasikan potensi diri. Kendati usia terus menua, kegemarannya terhadap organisasi terus berlanjut hingga saat ini, organisasi seolah dijadikannya sebagai “kawah candradimuka”. KH. Tatang Astarudin aktif sebagai Wakil Ketua Tanfidziyyah Nahdhatul Ulama (NU), Wakil Ketua Forum Pondok Pesantren (FPP) Kota Bandung, Ketua Lembaga Wakaf Nahdhatul Ulama (LWPNU) Jawa Barat, Anggota Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat, Anggota Dewan Pakar ICMI Jawa Barat, Anggota Bidang Zakat dan Wakaf, Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jawa Barat, Sekretaris Badan Wakaf Indonesia (BWI) Jawa Barat, Ketua Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Al-Islami Bandung. Proses yang panjang di organisasi telah mengasah jiwa kepemimpinan (leadership), hal ini ditandai kecakapannya sebagai Ketua Yayasan Suwargi Buana Djati yang tengah dikembangkan. Yayasan Suwargi Buana Djati terdapat beberapa lembaga pendidikan seperti Madrasah Aliyah Terpadu (MAT), Pondok Pesantren Al-Kahfi, dan Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Al-Islami (PPMU). Dirintisnya sekolah MAT di tempat kelahiran beliau sebagai bentuk rasa keprihatinan atas masyarakat sekitar yang notabene hanya melanjutkan sekolah sampai jenjang Menengah Pertama (SMP), hal ini dikarenakan faktor ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan. Hadirnya sekolah MAT memberi harapan baru sekaligus menjadi solusi bagi masyarakat setempat yang kurang mampu dalam hal ekonomi, pasalnya para siswa dapat menyelesaikan pendidikan tanpa dipungut biaya. Proses pembelajaran di sekolah MAT sama seperti pada umumnya yang memadukan dua lembaga pendidikan (sekolah dan pesantren), disamping kegiatan belajar pada siang hari di sekolah, siswa juga tinggal di pesantren untuk belajar ilmu agama diluar jam sekolah. Hal ini dilakukan sebagai upaya pembekalan keilmuan, agar para siswa tidak hanya menguasai ilmu yang sifatnya umum tapi juga mendalami ilmu agama.
Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Al-Islami berbeda lokasi dengan Pesantren Al-Kahfi, yaitu bertempat di Jl. Kelurahan Cipadung No.1 RT 03 RW 08 Kota Bandung 40614 (sekaligus tempat kediamannya) yang tengah dirintis sejak tahun 2010. Kegelisahan atas kondisi lingkungan sekitar kediamannya menjadi alasan awal mula merintis PPMU. Harapan PPMU dirintis agar supaya menjdi center of exellence dalam pengkajian dan pengamalan nilai-nilai keislaman inklusif-transformatif-emansipatoris yang berorientasi mewujudkan kemaslahatan universal. PPMU hadir memberi spirit keagama yang _luwes_ dan akomodatif terhadap berbagai realitas sosial dan kearifan lokal di sekitarnya, disamping juga memberikan paham keagamaan yang moderat dan inklusif. Perjalanan panjang ketika merintis yang tidak selalu mulus dilalui dengan penuh kesabaran dan kerendahan hati, jalan sunyi dijadikan sebagai prinsip perjuangan dalam berdakwah untuk menghindari perdebatan (konfrontatif), cara pandang yang mendamaikan selalu dijadikan solusi dalam menyikapi setiap kegaduhan. Sikapnya yang ramah, tutur katanya yang santun serta gaya kepemimpinan yang demokratis dan karismatik selalu menjadi panutan para santri. Pendekatan humanistik yang diterapkan dalam mengajar terlihat pada upaya penguatan kognitif dan apektif agar para santri memiliki penguasaan ilmu pengetahuan disertai kepekaan terhadap lingkungannya, disamping juga kehadirannya dirindukan. KH. Tatang Astarudin bukan tipikal yang betah hidup berlebih-lebihan ditengah para santri yang kerap kali membutuhkan bantuan, kesulitan santri dirasakan sungguh-sungguh untuk kemudian memikirkan solisi bagi pemecahannya.
Sisi Keluarga
Farida Mardiawati kelahiran Indramayu puteri dari pasangan KH. Ahmad Sayuti Hasan seorang politisi dan aktivis NU dan Hj. Djaoharotul Mardliyyah Ruhiat, puteri KH. Ruhiat, tokoh NU dan Pendiri Pesantren Cipasung dipilihnya sebagai istri, pendamping hidup kala suka mau pun duka. Pernikahannya berlangsung atas dominasi peran orang tua (dijodohkan), meski sebelumnya —semasa kuliah di Yogyakarta— sudah saling mengenal, sikap takzim kepada orang tua telah mengabaikan stigma orang kebanyakan bahwa dijodohkan adalah “musibah” karena harus menikah atas dasar keterpaksaan, berjalannya waktu beliau mulai merasakan manisnya dijodohkan hingga mengucapkan “pilihan orang tua adalah pilihan terbaik”, pernyataannya seolah menepis yang dipersepsikan orang kebanyakan terkait perjodohan. Pernikahannya dikaruniai empat anak, dua putra (Muhammad Riza Fairuzzabadi dan Ahmad Ruhiat Faqih Falahi) dan dua putri (Vita Ghania NailaTsurayya dan Najma Nawal Rizkia Nurul Izzah). “Sayang” kata penuh makna kerap kali diucapkan sebagai panggilan dambaan hati (baik istri mau pun si buah hati) sekaligus ekspresi kecintaannya kepada keluarga, kata “sayang” diucapkan untuk mewakili perasaan hati dan upaya membangun keharmonisan dalam keluarga. Sikap demokratis menjadi prinsip selaku kepala keluarga yang selalu mengedepankan musyawarah, sering kali meminta pendapat sang istri untuk mengambil keputusan. Hal serupa dilakukan kepada putra putrinya yang selalu memberi ruang dialog ketika ada keinginan yang bersebrangan. Kesabaran dijadikannya kekuatan dalam membina rumah tangga dan menghadapi segala cobaan yang menerpa. Barangkali tidak berlibihan istilah “sabar tidak ada batasnya” melekat pada dirinya.
“Doa terbaik saya panjatkan teruntuk kiayi beserta keluarga”
Bandung, 05 Oktober 2018