Universalisme Etis Santri Dalam Pusaran Politik Praktis
Memperingati Hari Santri Nasional: Bersama Santri Damailah Negeri
Oleh: Fajar Meihadi
Ketua Alumni Mahad Universal
Tinta sejarah telah mencatat kata “santri” dalam rentetan perjalanan panjang bangsa ini, pra kemerdekaan kaum santri sudah melakat ditengah kehidupan masyarakat. Kiprah santri di negeri ini tidak lagi diragukan, tingginya rasa nasionalisme menggerakkan santri ikut andil dalam melawan penjajah sebagai upaya merebut kemerdekaan bagi kehidupan bangsanya. Keikhlasan sebagai panca jiwa pesantren, disertai sikap sosial yang moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), proporsional (tawazun), lurus (itidal), dan wajar (iqtishad), menjadi pondasi santri dalam memperjuangkan tanah air, tanpa pamrih santri mambela tanah kelahirannya meski nyawa taruhannya. Kaum santri dengan segala perjuangan turut serta membangun bangsa ini seakan hilang dalam sejarah bangsanya sendiri, meskipun secara “wujud” santri dan bangunan pesantren masih kokoh berdiri mandiri dan kontribusinya nyata untuk bangsa dan negara. Dalam kurun waktu yang cukup lama peralihan kepemimpinan di negeri ini tidak kunjung membuat kaum santri lebih diperhatikan, sikap negarawan yang dikedepankan kaum santri dibuktikan dengan kelegowoan tanpa menuntut apa pun kepada negara (pemerintah) agar keringat, darah, dan nyawanya dibalas dalam membela negara.
22 Oktober 2015 bertepatan 9 Muharram 1437 H kaum santri mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah sebagai bentuk komitmen dalam mendorong kemajuan dan perbaikan kualitas santri, disamping juga bukti pengakuan negara atas jasa para ulama dan santri dalam perjuangan merebut, mengawal, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia yang ditandai dengan ditetapkannya Hari Santri Nasional (HSN). HSN adalah bentuk apresiasi kepada kaum santri dan ulama terdahulu yang ikut berkontribusi memperjuangkan kemerdekaan. 22 Oktober diputuskan sebagai HSN tidak terlepas dari peristiwa Resolusi Jihad Hadlaratus syeikh KH. Hasyim Asyari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945, dihadapan konsul-konsul Nahdlatul Ulama se-Jawa dan Madura tepat dikantor _Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama_ Jl. Boeboetan VI/2 Soerabaya, fatwa Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama dikumandangkan Hadlaratus Syeikh “…berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewajiban itoe djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)”. Resolusi Jihad dalam pidato Hadlaratus Syeikh adalah sebab terjadinya peristiwa heroik perlawanan rakyat tanggal 10 November di Surabaya yang sekarang dikenal dan diperingati sebagai Hari Pahlawan.
HSN mengingatkan kembali kaum santri dalam sejarah bangsanya, betapa besar saham kaum santri dalam proses berdiri dan tegaknya NKRI, disamping mengembalikan eksistensi kaum santri sebagai pribumi juga menjadi momentum kesadaran bersama di era globalisasi yang menuntut persaingan ketat dan terbuka dalam banyak hal. Kaum santri diharapkan mampu menjawab segala tantangan agar memiliki daya saing yang tidak hanya dalam cakupan nasional tetapi juga internasional. HSN perlu ditransformasikan menjadi gerakan paham kebangsaan yang bersintesis dengan keagamaan ditengah arus ideologi yang mempertentangkan Islam dan nasionalisme (fundamentalisme agama), Islam dan segala ajarannya akan berdiri tegak jika tanah air pun berdiri tegak, maka istilah nasionalisme bagian dari iman tidak berlebihan untuk selalu ditanamkan dan digaungkan dalam momentum HSN.
Kata “santri” adalah predikat yang tidak bisa dibeli dan diberi, sebab predikat santri bukan gelar “Honoris Causa” yang semua orang dapat menerimanya tanpa mesantren terlebih dahulu, predikat “santri” melekat pada siapa pun yang hendak belajar ilmu agama di pesantren terlepas dari penguasaan keilmuan yang dimiliki. Pun halnya dengan predikat “kiayi”, gelar yang disematkan masyarakat kepada orang tertentu sebagai bentuk apresiasi atas penguasaan ilmu agama, keluhuran budi pekerti dan pengabdian tanpa pamrih, tidak kemudian disematkan kepada orang tertentu yang terkesan memaksakan hanya untuk motif politik demi kepentingan golongan.
Politik adalah ruang dialog, tempat gagasan dituangkan dan seni untuk mencapai kekuasaan secara konstitusional, bukan seperangkat instrumen untuk memperkaya diri atau mempolitisasi gelar kiayi untuk kepentingan sesaat. Sebagian pihak kebanyakan mulai bernapas lega setelah politik identitas tidak lagi disuarakan, hal demikian relatif mengurangi kegaduhan ketika konsep tentang politik disuarakan, politik identitas kerapkali menuai pro dan kontra yang bermuara pada perdebatan tak kunjung usai. Kini muncul gencarnya gerakan “politik popularitas”, daya magnet dunia politik cukup menguat ditandai serentaknya para aktor dan aktris berputar haluan dari dunia yang tengah digeluti, tidak ada yang salah dan itu bukan fenomena keliru, selagi punya hak politik siapa pun boleh berkontestasi, tapi entah apa yang mereka cari semoga ridho Ilahi senantiasa menyertai. Politik bukan seni propaganda dusta melainkan sarana untuk mengabdi, barangkali tidak berlebihan istilah “mewakafkan diri” dijadikan prinsip seorang politisi sebagai upaya merubah stigma masyarakat kebanyakan yang memandang politik hanya dijadikan sarana pelampiasan hasrat kekuasaan.
Integritas dan _track record_ harus dijadikan skala prioritas dalam menentukan dukungan politik agar supaya kekuasaan dijadikan jalan pengabdian, karena kekuasaan memiliki peran cukup penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menurut Aristoteles kita butuh kekuasaan yang mutlak untuk negara mendidik masyarakat dengan nilai-nilai moral yang rasional, disamping kita harus mengakui bahwa terkadang politik praktis tidak sejalan dengan politik dalam gagasan (teoritis). Acapkali pihak tertentu (oknum) mempertontonkan politik praktis yang ditandai celaan, merendahkan, dan mungkin saling lempar informasi hoax yang pada gilirannya membuat kedamaian nyaris tidak diberi ruang, lebih jauh, ulah oknum yang tidak bertanggung jawab telah membuat politik praktis seolah merusak tatanan demokrasi yang tengah dibangun. Berpolitik seharusnya menggunakan akal sehat dan hati nurani, bukan mengkonstruk pengetahuan untuk kemudian diucapkan sebagai pembenaran yang pada gilirannya berdampak pada masyarakat menjadi gaduh dan demokrasi tidak lagi sehat. Mengingat penduduk Indonesia adalah bangsa yang beragama, maka fenomena politik praktis -oleh oknum- seolah memberi gambaran pengkhianatan atas pesan Tuhan, panggung politik belakangan mempertontonkan kehidupan manusia beragama tanpa Tuhan, agama hanya dijadikan sebagai formalisme yang mengabaikan penghayatan terhadap Tuhan, simbol-simbol agama selalu ditunjukkan dengan sikap bangga tapi sunyi akan nilai ketuhanan. Pancasila sebagai ideologi seharusnya dijadikan pondasi dalam kehidupan berbangsa, barnegara, dan tidak terlepas berpolitik sekalipun, pancasila harus bersenyawa dalam gerak langkah siapapun di negeri ini. Sila pertama (ketuhanan yang Maha Esa) dan sila kedua (kemanusiaan yang adil dan beradab) tidak membenarkan sentimen kebencian, celaan, mencaci, dan hoax yang berdampak pada kegaduhan dalam politik, melaikan seharusnya politik sarat akan nilai Ilahiyah dan nilai kemanusiaan sebagai upaya merawat sila ketiga (persatuan Indonesia) dan mewujudkan sila kelima (keadilan sosial). Mengingat bangsa Indonesia mayoritas muslim, maka menjadi konsekuensi logis mayoritas politisi di negeri ini umat muslim, jika pertikaian, ujaran kebencian, hinaan, masih dipertontonkan dipanggung politik, layakkah identitas khaira ummah disandang politisi yang beragama Islam?
Dalam politik persaingan adalah keniscayaan, budaya kompetisi tidak bisa dihindarkan, tetapi politik harus mengedukasi bukan menebar caci maki berujung benci. Nabiku “Muhammad” tinggi budi pekerti, mulia akhlaknya, lembut sikapnya, amarah pun tidak nampak dimedan perang, kendati musuh berbeda agama mau membunuhnya. Saya (santri) kagum kelembutannya, saya tidak ingin marah hingga merendahkan pihak lain hanya karena perbedaan pandangan atau dukungan politik. Nabiku mengajarkan persatuan dalam keberagaman, mencintai ketika dibenci. Allah swt. dalam Q.S Ta-ha: 43-44, memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk bersikap lemah lembut kepada Fir’aun, sungguh pun Fir’aun keji dan mengaku tuhan. Sepanjang sejarah tidak ada manusia sekeji Fir’aun, maka tidak sepantasnya umat muslim yang menyandang khaira ummah bersikap “kasar” hingga mengucapkan ujaran kebencian kepada pihak lain yang berbeda pandangan atau dukungan politik. Kritikan boleh disampaikan tapi tidak disertai sentimen kebencian, sikap santun harus direfleksikan dalam menyampaikan aspirasi dan berikan doa terbaik, karena yang dikritik (lawan politik) tidak sekeji Fir’aun dan yang mengkritik tidak sebaik Nabi Musa dan Nabi Harun.
Pergantian kekuasaan memiliki dasar hukum dan bagian dari sistem demokrasi, siapa pun yang punya niatan baik untuk mengganti kepemimpinan sangat dimungkinkan selagi tidak melanggar aturan main, cara-cara yang baik harus dikedepankan dalam proses pergantian kepemimpinan agar kegaduhan tidak diberi ruang, sentimen kebencian dilakukan sebagai upaya merebut kekuasaan tidak dibenarkan, Rasulullah bersabda “siapa yang menghina pemimpinnya, Allah akan menghinakan dia”, maknanya barangkali tidak perlu merendahkan hingga menghinakan seorang pemimpin kendati berbuat salah, karena yang menyalahkan belum tentu mampu berbuat lebih baik, eloknya ketika mengingatkan pemimpin dengan keramahan, mengkritik dengan kesantunan, serta dengan cara yang beradab dan manusiawi untuk menyampaikan aspirasi. Kritikan dalam politik harus disampaikan mengingat tidak ada kebenaran yang absolut, tetapi keritikan yang dilontarkan harus kritikan yang konstruktif tidak bersifat destruktif yang terkesan mencari kesalahan semata. Nasehat Buya Hamka “orang yang berakal tidak pernah menghinakan orang lain, orang yang menghinakan rajanya (pemimpinnya) rusaklah dunianya, orang yang menghinakan orang alim rusaklah agamanya, dan orang yang menghinakan kawannya rusaklah muruahnya”. Nasehat ini kiranya patut direnungkan sebagai bahan refleksi bersikap dan berprilaku dalam berpolitik dengan harapan tidak menimbulkan kegaduhan.
Tulisan ini diterbitkan tanggal 22 Oktober 2018.