Kuliah Umum Prof Nuh: Tiga Pilar Kehidupan yang Sebenarnya
Prof. Dr. Ir. Muhammad Nuh., DEA atau yang lebih akrab dipanggil Prof Nuh merupakan Mentri Pendidikan pada masa Kepresidenan SBY, beliau juga merupakan penggagas Kurikulum Tiga Belas (kurtilas). Saat ini beliau menjabat sebagai Ketua Badan Wakaf Indonesia dan Ketua Dewan Pers.
Pada tanggal 14 Juni 2022 Prof Nuh berkunjung ke Pesantren di Bandung dekat UIN Sunan Gunung Djati Bandung yaitu Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Al-Islamy Bandung untuk memberikan Kuliah Umum kepada para santri dengan tema “Wakaf sebagai Pilar Ekonomi dan Peradaban”.
Diantara pesan yang disampaikan, setidaknya ada tiga perkara yang ditekankan dalam kuliah umum tersebut yaitu: pertama, Logika, yang berarti Kebenaran. Kedua, Etika, yang berarti Kebaikan. Ketiga, Estetika, yang berarti Keterampilan.
Ketika seseorang sudah dapat hidup dengan tiga hal tersebut, maka hidup akan menjadi sempurna. Namun sering kali orang terjebak pada urusan “kebenarannya”. Padahal hidup tidak selalu tentang kebenaran saja, ada banyak variabel yang harus di padukan.
Contohnya ketika sebuah kendaraan bermotor berada di lampu merah dan motor tersebut di laju kembali ketika lampu hijau, namun tiba-tiba mucul mobil truk di sebelah kanan yang menerobos lampu merah. Apa yang harus dilakukan? Maka yang harus dilakukan dalam kondisi tersebut yaitu berhenti demi “kebaikan”. Jika dalam kondisi tersebut memaksakan tidak berhenti maka yang akan terjadi adalah tabrakan yang menyebabkan kematian. Meskipun dalam kondisi tersebut pengendara motor “benar”, tapi jika “kebaikan” ikut dipadukan maka kita dapat terhindar dari marabahaya.
Selain cerita tadi, kita juga bisa belajar dari kisah Tiga Ulama sekaligus intelektual muslim yang namanya dikenal tidak hanya oleh kalangan muslim semata tetapi juga dunia, yaitu Ibn Sina, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dan Imam Abu Hanifah.
Ibnu Sina
Ibnu Sina sebagai “Bapak Kedokteran” yang oleh sarjana Barat lebih dikenal dengan “Avicenna” lahir di Bukhara pada tahun 980 M. Ayahnya bernama Abdullah, dan Ibunya bernama Setareh.
Sejak dari kecil Ibnu Sina sudah menjadi seorang anak yang sangat cerdas, sehingga pada usia 10 tahun ia sudah menjadi penghafal Al-Qur’an. Karena kecerdasannya yang sangat tinggi, ada seorang guru yang menasehati ayahnya agar Ibnu Sina harus fokus belajar dan menuntut ilmu.
Ketika terdengar kabar bahwa ada seorang pedagang sayur sekaligus seorang guru Matematika di pasar, ayahnya segera membawa Ibnu Sina ketempat pedagang tersebut dan meminta untuk mengajari Ibnu Sina matematika, tetapi pedagang tersebut menolak karena matematika yang dia ajarkan hanya untuk orang dewasa, bukan anak kecil seperti Ibnu Sina.
Saat itu istri pedagang yang seorang ahli matematika menyuruh anaknya untuk mengambilkan bara api yang akan dipakai untuk memasak oleh ayahnya, anaknya lupa tidak membawa wadah. Karena kecerdasan Ibnu Sina yang luar biasa, ia menyuruh merapatkan kedua telapak tangan anak tersebut, kemuadian Ibnu Sina mengisinya dengan pasir dan diatasnya diletakkan bara api tersebut. Pedagang itu pun terkesan dan mau mengajari matematika kepada Ibnu Sina.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau lebih di kenal sebagai “Sulthonul Auliya” lahir di desa Jilan, Tabaristan pada tahun 407 H. Ia merupakan putra dari seorang ayah yang bernama Abu Shaleh dan Ibu yang bernama Ummul Khair Fatimah. Sejak masih dalam kandungan usia 6 bulan ia telah menjadi yatim, dan dibesarkan oleh Ibunya saja. Ia merupakan seorang yang cerdas, pintar, jujur dan berbakti pada orang tua.
Ketika dewasa ia pamit kepada ibunya untuk hijrah menuntut ilmu ke Baghdad. Ia pun di izinkan oleh Ibunya dan diberi bekal koin emas yang disimpan di saku ketiak yang telah di jahit oleh ibunya.
Kesokan harinya berangkat, ketika diperjalanan ia dicegat oleh perampok hingga dua kali. Ketika di rampok Syekh Abdul Qadir Al-Jailani muda selalu berkata jujur ketika ditanya barang berharga apa yang dibawa? Ia mengatakan bahwa dirinya membawa koin emas yang disimpan di saku lengan yang telah dijahitkan oleh ibunya. Aliansi perampok tersebut tidak percaya dan bergegas melaporkan kepada tuannya bahwa ada seorang pemuda yang membawa koin emas disaku ketiaknya. Kepala aliansi perampok itu menyuruh anak buahnya untuk membawakan Syekh Abdul Qadir padanya.
Samapailah ia pada kepala aliansi, dan ditanya: “Hey pemuda! Apa benar kamu membawa koin emas pada saku yang ada diketiakmu? ia menjawab “Benar, saya membawanya”. Tuan bertanya lagi “Kenapa kau mengatakan dengan benar?” ia menjawab “Karena ibu menyuruh saya utuk berkata jujur dan benar dalam keadaan apapun itu”. Mendegar perkataan itu, Kepala aliansi perampok langsung menangis dan mencium kaki Syekh Abdul Qadir muda.
Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah atau sering disebut Imam Hanafi adalah seorang pendiri Madzhab Hanafi yang lahir di Kuffah, Irak pada tahun 80 H. Gurunya saat kecil bernama, Imam Hammad. Abu Hanifah tidak hanya memiliki kecerdasan yang luar biasa, ia juga bisa menafsirkan mimipi.
Ketika berusa tujuh tahun, Imam Hanafi sudah bisa menjawab pertanyaan seorang Atheis yang bernama Dahriyyah dan berdebat menggantikan gurunya. Saat semua ulama dan masyarkat sudah berkumpul di masjid, Imam Hanafi dan Imam Hammad gurunya masuk kedalam mesjid dan Dahriyyah menunggu sambil berdiri di atas mimbar.
Karena perdebatan ini disaksikan juga oleh Sang Sultan, Imam Hammad meminta izin agar debatnya digantikan oleh muridnya yaitu Imam Hanafi, dan Sultan pun mengizinkan.
Perdebatan pun dimulai dan Dahriyyah berteriak, “Hey anak muda siapa kau, berani-beraninya ingin berdebat denganku?”, Imam Hanafi menjawab “pertanyaan apa yang ingin kau ajukan, Tuan?”.
“Petanyaan yang pertama, sebelum tuhan ada, ada apa?”, Imam Hanafi menjawab “Tuan bisa tidak menghitung? tolong tuan hitung mundur, tiga, dua, satu dan nol. Terus berapa lagi?” Dahriyyah pun tidak bisa menjawabnya “Imam Hanafi pun berkata, bisa-bisa nya kau menanyakan pertanyan itu, padahal Tuhan itu “Huwal-awwalu wal-akhiru” yang berarti “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir”.
Dahriyyah menanyakan pertanyaan yang ke dua “Tuhan mengahadap kemana?”, Imam Hanafi tidak langsung menjawab, tapi malah meminta lilin dan korek api, lalu dinyalakan lah lilin itu. Lalu Imam Hanafi bertanya, Tuan, setelah saya menyalakn lilin ini, cahayanya menghadap kemana?” lalu Dahriyyah pun menjawab, “Menghadap dan menerangi kesemua penjuru”, nah seperti itulahTuhan, menghadap ke semua penjuru.
Sebelum ke pertanyaan selanjutnya Imam Hanafi berkata “Tuan, sekarang mari kita saling berganti posisi, saya ke atas mimbar dan Tuan turun ke bawah, dan silahkan apa pertanyaan Tuan sekarang!, Dahriyyah menjawab “apa yang sedang dikerjakan Tuhan sekarang?”, lalu Imam Hanafi menjawab, “yang sedang dilakukan Tuhan sekarang ialah menurunkan orang yang sombong seperti Tuan dari atas mimbar ke bawah mimbar dan menaikkan aku yang hak dari bawah keatas mimbar. Setelah perdebatan itu Dahriyyah terdiam dan menanggung rasa malu. Dari ketiga kisah tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa hidup itu penting dan akan sangat berarti jika menerapkan dan memakai tiga hal, yaitu “Logika, Etika dan Skil”.
Penulis:
Nama : Shopia Nurul Azmi
Kelas : IV-E
NIM : 1205010174
Jurusan : Sejarah dan Peradaban Islam
Universitas : UIN Sunan Gunung Djati Bandung