Elit Politik, Jangan Terlalu Sibuk
Oleh : Whisnu sentosa
Akhir-akhir ini atmosfer di istana kian memanas, energi elit politik kita mulai dikuras dalam sejumlah kasus/issue yang meledak berentetan. Dimulai dari kasus susno duaji yang vocal dan sekarang dibui, rekening gendut perwira polri yang ghaib, mafia pajak gayus tambunan, bank century yang tanpa ending dan sekarang issue rhesuffle kabinet. Issu issu ini yang menjadikan istana sebagai focus utama perhatian masyarakat. Semua kasus kasus itu sudah hampir mereda meskipun diantaranya ada beberapa kasus yang tanpa ending/kejelasan.
Tentu sebagai penonton yang berusaha bijak, kasus-kasus ini kita kembalikan kepada pihak penegak hukum dan tentu pula sebagai penegak hukum yang bijak pula kasus-kasus ini harus rampung dengan kejelasan hukum, transparan, supaya tidak ada persepsi-persepsi negatif kearah istana. Namun yang kurang saya pahami disini adalah terkait dengan issue rhesuffle KIB (kabinet Indonesia bersatu) II, memang hal ini adalah hak prerogratif presiden namun disini tetap saya tidak bisa memahaminya, saya coba sedikit memahami ketika bapak presiden mengatakan gajinya yang tak kunjung naik Enam tahun terakhir ini tapi saya tidak memahami kenapa KIB II ini tetap dipertahankan,? Sayapun tidak memahami kenapa hak angket pajak enggan diungkap?? Saya boleh dikatakan termasuk orang yang tersenyum terang ketika mendengar selentingan issue rhesaffle, saya tersenyum ketika mendengar Ahmad mubarok mengatakan reshuffle tetap ada. Saya memang hanyalah penonton awam namun sepertinya saya senada dengan statemen sekjen DPP PD Saan Mustopa, menurutnya jika reshuffle tidak ada justru menjadi beban untuk bapak presiden. Saya memang awam dan keawaman ini sangat menginginkan masa pemerintahan yang tinggal hanya 3,5 tahun lagi berjalan dengan baik, progress dan menjadikan masyarakat sebagai focus utamanya. karena perlu digaris bawahi disini yang menjadi ironis adalah ketika kondisi sebagai focus utama adalah istana, disini masyarakat berinterpretasi, berpersepsi, memberiperhatian ke istana, sedangkan menurut subjektif saya kondisi yang ideal yaitu kondisi masyarakat sebagai focus utama, dalam hal ini tentu istana dan elite politiklah yang yang berfikir dan memberi perhatian kepada masyarakat. Sekali lagi elite politik sebagai actor/pemain juga sebagai penonton. Menonton kita. Karena bagaimanapun, sejitu apapun strategi yang sedang dirancang , jika masyarakat belum merasa diayomi, dipayungi, dikasihi, apalah artinya… Apalah artinya berteori berlama-lama. Toh harga kebutuhan pokok masih mahal, kasus gizi buruk masih menjerit jerit, perut kosong dimana-mana. Bukankah harga minimal didirikannya suatu Negara yakni tercapainya sebuah kesejahteraan??
Elite politik, jangan terlalu sibuk. Mempoles istana. Jangan terlalu bimbang perkuat strategi, mempoles istana baik, perkuat strategi baik, namun jauh lebih baik elite politik mempoles dan memperkuat perut kami, sabang sampai marauke…
Jadikanlah kami focus utama???